Balaikota Bandung Kantor Pemerintahan
Gedung balaikota ("gemeente huis") merupakan salah satu bangunan tertua di Kota Bandung. Sebelum gedung itu didirikan, pada lokasi itu terdapat gudang kopi ("koffie pakhuis") milik Adries de Wilde (1781-1865), seorang tuan tanah dan Asisten Residen Priangan pada tahun 1812.
Gudang kopi itu dibangun tahun 1819 saat perkebunan kopi di Priangan berkembang pada abad ke-18. Gudang kopi itu merupakan satu dari delapan gedung tembok baru di Bandung. Tahun 1923, gudang itu diserahkan kepada Pemerintah kolonial Belanda.
Tahun 1927, gudang kopi dirobohkan. Sebagai gantinya, didirikan gedung balaikota yang dirancang oleh arsitek EH de Roo. Pendirian balaikota ini terkait dengan status Bandung sebagai kota praja sejak tahun 1906.
Bangunan berbentuk persegi panjang ini terletak tidak jauh dari Jalan Braga yang merupakan pusat kegiatan ekonomi masyarakat Kota Bandung masa itu. Sejumlah bangunan publik pendukung pun sudah lebih dulu didirikan di sekitarnya, yakni Javasche Bank (1909), Katedral (1921), dan Gereja Bethel (1925).
Seiring dengan berkembangnya Kota Bandung, tahun 1935 balaikota diperluas dengan menambah bangunan baru di belakangnya. EH de Roo masih menjadi arsiteknya. Ia merancang gedung baru ini dengan gaya "art deco" sehingga berkesan lebih modern daripada gedung lama. Bangunan baru ini dibangun menghadap Pieter Sijthoffpark yang kini bernama Taman Dewi Sartika. Bentuk atapnya yang tampak datar menyebabkan gedung ini pun disebut Gedung Papak.
image hosted on flickr
Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat.
Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik
dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan.
Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara
lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai
Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996),
bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar
atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda,
ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun
terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi
menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung
berasal dari kata bendung.
Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan
dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah
Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa
holosen (± 6000 tahun yang lalu).
Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer)
dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50
kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal
dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan
hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut
pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya
air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah
bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar
decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung
terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten
Bandung.
Berdirinya Kabupaten Bandung
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan
sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum
Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan
Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah
dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15,
Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu
Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan
Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas,
mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan
daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan
Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa
Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang,
penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan
diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan
ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota
Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang
kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama
Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa,
anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah
kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun
berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian
Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni
yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan
Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan
Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria
Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan
(1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal
dengan sebutan Rangga Gempol I.
Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan
daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan
diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.
Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati
Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan
Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat
mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari
Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan
Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia
harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu
pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu
mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi
dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh
Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh
karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap
Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak
datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur
itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa
Kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya
dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi
daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat
Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah
tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di
daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa
Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan
pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati
Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.
Era Pajajaran
Pada tahun 1488, daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bandung tadinya adalah ibukota Kerajaan Padjajaran. Tetapi dari penemuan arkeologi kuno, kita mengetahui bahwa kota tersebut adalah rumah bagi Australopithecus, Manusia Jawa. Orang-orang ini tinggal di pinggiran sungai Cikapundung sebelah Utara Bandung, dan di pesisir Danau Bandung yang terkenal. Artifak Batu Api masih dapat ditemukan di daerah Dago atas dan di Museum Geologi terdapat gambar dan fragmen dari sisa tengkorak dan artifak.
Masyarakat Sunda adalah petani-petani yang bergantung pada kesuburan tanah di Bandung. Mereka mengembangkan tradisi lisan yang hidup yang didalamnya mencakup pertunjukan wayang golek, dan banyak jenis pertunjukan musik lainya. "Ada sebuah kota bernama Bandung, berisikan 25 sampai 30 rumah," tulis Juliaen de Silva pada tahun 1614.
Berdirinya Kota Bandung
Awal mula berdirinya Kota Bandung tidak lepas dari jasa dan kiprah Wiranatakusumah II, yang menjadi Bupati Kabupaten Bandung (1794-1829). Pada saat itu, ibu kota kabupaten terletak di Karapyak (sekarang Dayeuhkolot).
Bandung pun sempat dipersiapkan sebagai ibu kota Hindia Belanda, dengan rencana memindahkan Batavia ke Bandung. Maka, langkah persiapan itu direncanakan. Salah satunya dengan membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan pemukiman dengan rencana tata ruang yang baik.
Tak heran apabila kita banyak melihat bangunan-bangunan kolonial di Kota Bandung dengan arsitekturnya yang menarik perhatian. Namun sejalan dengan perkembangan Kota Bandung, banyak sekali bangunan-bangunan bersejarah peninggalan kolonial yang dirobohkan dan diganti dengan bangunan-bangunan modern yang angkuh.
Apabila kita amati dengan baik, peninggalan-peninggalan bangunan kolonial yang ada di Bandung tidak dibuat dengan sembarangan, namun sudah direncanakan dengan perancangan yang baik.
Menurut buku "Ciri Perancangan Kota Bandung", faktor ruang merupakan salah satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam upaya mendapatkan kesan tertentu bagi penampilan suatu bangunan. Untuk memberikan penampilan visual yang terbaik bagi pengamat, penampilan suatu bangunan harus diperhatikan, dari segi bentuk maupun perletakannya dan disesuaikan dengan fungsi dari bangunan tersebut.
Dalam buku yang ditulis oleh Djefry W. Dana tahun 1990 tersebut, di Kota Bandung ini terdapat bangunan-bangunan yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mempercantik wajah kota. Antara lain, bangunan dengan perletakan mundur. Salah satu cara yang dapat dipakai mendukung penampilan bangunan adalah dengan perletakan lebih mundur dari garis sempadan (set-back). Cara ini dimaksudkan untuk memberikan jarak pandang antara pengamat dan objek, sehingga diharapkan pengamat mempunyai keleluasaan pandangan saat menikmati bangunan tersebut dan menciptakan kesan agung, megah dan berwibawa pada persepsi pengamat.
Di Bandung, ada beberapa bangunan yang mempunyai perletakan lebih mundur dari garis sempadan yang ada, yaitu antara lain: Gedung Sate, Gedung Dwi Warna, Gedung Pasteur, Rumah Sakit Hasan Sadikin, Gedung Balai Kota Bandung, Stasiun Kereta Api, dan kantor Powiltabes Bandung di jalan Merdeka.
Kemudian adalah bangunan sudut dan persimpangan jalan seperti kita ketahui, merupakan daerah tempat manusia dan kendaraan berjalan perlahan-lahan, memperlambat pergerakannya, atau berhenti sejenak untuk mengamati keadaan atau situasi di sekelilingnya.
Kota Bandung memiliki beberapa bangunan sudut dengan penyelesaian rancangan yang baik dan menarik sehingga mempunyai peranan yang cukup penting bagi lingkungan kota, misalnya sebagai ciri lingkungan maupun local point–apabila keberadaannya pada lingkungan tersebut demikian menonjol.
Beberapa bangunan sudut di Kota Bandung menggunakan penyelesaian kurva linier, contohnya adalah Bank Jabar yang terletak di Jalan Naripan.
Kemudian, bangunan sudut dengan menggunakan menara tunggal maupun ganda, contoh Bank Mandiri (dulu dikenal dengan nama Escampto Bank) yang terletak di persimpangan Jalan Asia Afrika dan Jalan Banceuy. Juga gedung Balai Keselamatan yang terletak di persimpangan Jalan Sumatera dan Jalan Jawa, bangunan sudut yang terletak di simpang lima, bangunan sudut yang terletak di persimpangan Jalan Bungsu dan Jalan Sunda, gedung SMPN 5 dengan menara gandanya yang menghadap ke arah persimpangan Jalan Jawa-Jalan Sumatera.
Selain bangunan sudut dengan rancangan yang menggunakan kurva linier, menara tunggal dan ganda, ada pula rancangan bentuk lengkung pada sudut jalan.
Beberapa bangunan bersejarah di Kota Bandung, ada yang sudah dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru. Salah satunya adalah gedung Singer yang terletak di simpang lima. Gedung Singer adalah satu contoh pengalaman pahit. Tapi dari situ, kita dapat berkaca kembali. Masih ada kesempatan untuk belajar dari pengalaman yang lalu untuk kemudian bertindak, mempertahankan milik kita yang tersisa. Kalau kita mau...(Oleh :.zhovena)
Gudang kopi itu dibangun tahun 1819 saat perkebunan kopi di Priangan berkembang pada abad ke-18. Gudang kopi itu merupakan satu dari delapan gedung tembok baru di Bandung. Tahun 1923, gudang itu diserahkan kepada Pemerintah kolonial Belanda.
Tahun 1927, gudang kopi dirobohkan. Sebagai gantinya, didirikan gedung balaikota yang dirancang oleh arsitek EH de Roo. Pendirian balaikota ini terkait dengan status Bandung sebagai kota praja sejak tahun 1906.
Bangunan berbentuk persegi panjang ini terletak tidak jauh dari Jalan Braga yang merupakan pusat kegiatan ekonomi masyarakat Kota Bandung masa itu. Sejumlah bangunan publik pendukung pun sudah lebih dulu didirikan di sekitarnya, yakni Javasche Bank (1909), Katedral (1921), dan Gereja Bethel (1925).
Seiring dengan berkembangnya Kota Bandung, tahun 1935 balaikota diperluas dengan menambah bangunan baru di belakangnya. EH de Roo masih menjadi arsiteknya. Ia merancang gedung baru ini dengan gaya "art deco" sehingga berkesan lebih modern daripada gedung lama. Bangunan baru ini dibangun menghadap Pieter Sijthoffpark yang kini bernama Taman Dewi Sartika. Bentuk atapnya yang tampak datar menyebabkan gedung ini pun disebut Gedung Papak.
image hosted on flickr
Mengenai asal-usul nama "Bandung", dikemukakan berbagai pendapat.
Sebagian mengatakan bahwa, kata "Bandung" dalam bahasa Sunda, identik
dengan kata "banding" dalam Bahasa Indonesia, berarti berdampingan.
Ngabanding (Sunda) berarti berdampingan atau berdekatan. Hal ini antara
lain dinyatakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai
Pustaka (1994) dan Kamus Sunda-Indonesia terbitan Pustaka Setia (1996),
bahwa kata bandung berarti berpasangan dan berarti pula berdampingan.
Pendapat lain mengatakan, bahwa kata "bandung" mengandung arti besar
atau luas. Kata itu berasal dari kata bandeng. Dalam bahasa Sunda,
ngabandeng berarti genangan air yang luas dan tampak tenang, namun
terkesan menyeramkan. Diduga kata bandeng itu kemudian berubah bunyi
menjadi Bandung. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa kata Bandung
berasal dari kata bendung.
Pendapat-pendapat tentang asal dan arti kata Bandung, rupanya berkaitan
dengan peristiwa terbendungnya aliran Sungai Citarum purba di daerah
Padalarang oleh lahar Gunung Tangkuban Parahu yang meletus pada masa
holosen (± 6000 tahun yang lalu).
Akibatnya, daerah antara Padalarang sampai Cicalengka (± 30 kilometer)
dan daerah antara Gunung Tangkuban Parahu sampai Soreang (± 50
kilometer) terendam menjadi sebuah danau besar yang kemudian dikenal
dengan sebutan Danau Bandung atau Danau Bandung Purba. Berdasarkan
hasil penelitian geologi, air Danau Bandung diperkirakan mulai surut
pada masa neolitikum (± 8000 - 7000 sebelum Masehi). Proses surutnya
air danau itu berlangsung secara bertahap dalam waktu berabad-abad.
Secara historis, kata atau nama Bandung mulai dikenal sejak di daerah
bekas danau tersebut berdiri pemerintah Kabupaten bandung (sekitar
decade ketiga abad ke-17). Dengan demikian, sebutan Danau Bandung
terhadap danau besar itu pun terjadi setelah berdirinya Kabupaten
Bandung.
Berdirinya Kabupaten Bandung
Sebelum Kabupaten Bandung berdiri, daerah Bandung dikenal dengan
sebutan "Tatar Ukur". Menurut naskah Sadjarah Bandung, sebelum
Kabupaten Bandung berdiri, Tatar Ukur adalah termasuk daerah Kerajaan
Timbanganten dengan ibukota Tegalluar. Kerajaan itu berada dibawah
dominasi Kerajaan Sunda-Pajajaran. Sejak pertengahan abad ke-15,
Kerajaan Timbanganten diperintah secara turun temurun oleh Prabu
Pandaan Ukur, Dipati Agung, dan Dipati Ukur. Pada masa pemerintahan
Dipati Ukur, Tatar Ukur merupakan suatu wilayah yang cukup luas,
mencakup sebagian besar wilayah Jawa Barat, terdiri atas sembilan
daerah yang disebut "Ukur Sasanga".
Setelah Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan
Pasukan banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa
Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Sumedanglarang,
penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedanglarang didirikan dan
diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun pada (1580-1608), dengan
ibukota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak sebelah Barat kota
Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi daerah yang
kemudian disebut Priangan, kecuali daerah Galuh (sekarang bernama
Ciamis).
Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Suriadiwangsa,
anak tiri Geusan Ulun dari rtu Harisbaya, Sumedanglarang menjadi daerah
kekuasaan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedanglarang pun
berubah dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang.
Mataram menjadikan Priangan sebagai daerah pertahanannya di bagian
Barat terhadap kemungkinan serangan Pasukan Banten dan atau Kompeni
yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan
Sultan Agung (1613-1645) bermusuhan dengan Kompeni dan konflik dengan
Kesultanan Banten.
Untuk mengawasi wilayah Priangan, Sultan Agung mengangkat Raden Aria
Suradiwangsa menjadi Bupati Wedana (Bupati Kepala) di Priangan
(1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, terkenal
dengan sebutan Rangga Gempol I.
Tahun 1624 Sultan agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan
daerah Sampang (Madura). Karenanya, jabatan Bupati Wedana Priangan
diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I pangeran Dipati Rangga Gede.
Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai Bupati
Wedana, Sumedang diserang oleh Pasukan Banten. Karena sebagian Pasukan
Sumedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat
mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari
Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan
Bupati Wedana Priangan diserahkan kepada Dipati Ukur, dengan syarat ia
harus dapat merebut Batavia dari kekuasaan Kompeni.
Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur untuk membantu
pasukan Mataram menyerang Kompeni di Batavia. Akan tetapi serangan itu
mengalami kegagalan. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekwensi
dari kegagalan itu ia akan mendapat hukuman seperti yang diterima oleh
Pangeran Dipati Rangga gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh
karena itu Dipati Ukur beserta para pengikutnya membangkang terhadap
Mataram. Setelah penyerangan terhadap Kompeni gagal, mereka tidak
datang ke Mataram melaporkan kegagalan tugasnya. Tindakan Dipati Ukur
itu dianggap oleh pihak Mataram sebagai pemberontakan terhadap penguasa
Kerajaan Mataram.
Terjadinya pembangkangan Dipati Ukur beserta para pengikutnya
dimungkinkan, antara lain karena pihak Mataram sulit untuk mengawasi
daerah Priangan secara langsung, akibat jauhnya jarak antara Pusat
Kerajaan Mataram dengan daerah Priangan. Secara teoritis, bila daerah
tersebut sangat jauh dari pusat kekuasaan, maka kekuasaan pusat di
daerah itu sangat lemah. Walaupun demikian, berkat bantuan beberapa
Kepala daerah di Priangan, pihak Mataram akhirnya dapat memadamkan
pemberontakan Dipati Ukur. Menurut Sejarah Sumedang (babad), Dipati
Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (daerah Bandung) pada tahun 1632.
Era Pajajaran
Pada tahun 1488, daerah yang sekarang dikenal dengan nama Bandung tadinya adalah ibukota Kerajaan Padjajaran. Tetapi dari penemuan arkeologi kuno, kita mengetahui bahwa kota tersebut adalah rumah bagi Australopithecus, Manusia Jawa. Orang-orang ini tinggal di pinggiran sungai Cikapundung sebelah Utara Bandung, dan di pesisir Danau Bandung yang terkenal. Artifak Batu Api masih dapat ditemukan di daerah Dago atas dan di Museum Geologi terdapat gambar dan fragmen dari sisa tengkorak dan artifak.
Masyarakat Sunda adalah petani-petani yang bergantung pada kesuburan tanah di Bandung. Mereka mengembangkan tradisi lisan yang hidup yang didalamnya mencakup pertunjukan wayang golek, dan banyak jenis pertunjukan musik lainya. "Ada sebuah kota bernama Bandung, berisikan 25 sampai 30 rumah," tulis Juliaen de Silva pada tahun 1614.
Berdirinya Kota Bandung
Awal mula berdirinya Kota Bandung tidak lepas dari jasa dan kiprah Wiranatakusumah II, yang menjadi Bupati Kabupaten Bandung (1794-1829). Pada saat itu, ibu kota kabupaten terletak di Karapyak (sekarang Dayeuhkolot).
Bandung pun sempat dipersiapkan sebagai ibu kota Hindia Belanda, dengan rencana memindahkan Batavia ke Bandung. Maka, langkah persiapan itu direncanakan. Salah satunya dengan membangun bangunan-bangunan pemerintahan dan pemukiman dengan rencana tata ruang yang baik.
Tak heran apabila kita banyak melihat bangunan-bangunan kolonial di Kota Bandung dengan arsitekturnya yang menarik perhatian. Namun sejalan dengan perkembangan Kota Bandung, banyak sekali bangunan-bangunan bersejarah peninggalan kolonial yang dirobohkan dan diganti dengan bangunan-bangunan modern yang angkuh.
Apabila kita amati dengan baik, peninggalan-peninggalan bangunan kolonial yang ada di Bandung tidak dibuat dengan sembarangan, namun sudah direncanakan dengan perancangan yang baik.
Menurut buku "Ciri Perancangan Kota Bandung", faktor ruang merupakan salah satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam upaya mendapatkan kesan tertentu bagi penampilan suatu bangunan. Untuk memberikan penampilan visual yang terbaik bagi pengamat, penampilan suatu bangunan harus diperhatikan, dari segi bentuk maupun perletakannya dan disesuaikan dengan fungsi dari bangunan tersebut.
Dalam buku yang ditulis oleh Djefry W. Dana tahun 1990 tersebut, di Kota Bandung ini terdapat bangunan-bangunan yang sudah dirancang sedemikian rupa sehingga mempercantik wajah kota. Antara lain, bangunan dengan perletakan mundur. Salah satu cara yang dapat dipakai mendukung penampilan bangunan adalah dengan perletakan lebih mundur dari garis sempadan (set-back). Cara ini dimaksudkan untuk memberikan jarak pandang antara pengamat dan objek, sehingga diharapkan pengamat mempunyai keleluasaan pandangan saat menikmati bangunan tersebut dan menciptakan kesan agung, megah dan berwibawa pada persepsi pengamat.
Di Bandung, ada beberapa bangunan yang mempunyai perletakan lebih mundur dari garis sempadan yang ada, yaitu antara lain: Gedung Sate, Gedung Dwi Warna, Gedung Pasteur, Rumah Sakit Hasan Sadikin, Gedung Balai Kota Bandung, Stasiun Kereta Api, dan kantor Powiltabes Bandung di jalan Merdeka.
Kemudian adalah bangunan sudut dan persimpangan jalan seperti kita ketahui, merupakan daerah tempat manusia dan kendaraan berjalan perlahan-lahan, memperlambat pergerakannya, atau berhenti sejenak untuk mengamati keadaan atau situasi di sekelilingnya.
Kota Bandung memiliki beberapa bangunan sudut dengan penyelesaian rancangan yang baik dan menarik sehingga mempunyai peranan yang cukup penting bagi lingkungan kota, misalnya sebagai ciri lingkungan maupun local point–apabila keberadaannya pada lingkungan tersebut demikian menonjol.
Beberapa bangunan sudut di Kota Bandung menggunakan penyelesaian kurva linier, contohnya adalah Bank Jabar yang terletak di Jalan Naripan.
Kemudian, bangunan sudut dengan menggunakan menara tunggal maupun ganda, contoh Bank Mandiri (dulu dikenal dengan nama Escampto Bank) yang terletak di persimpangan Jalan Asia Afrika dan Jalan Banceuy. Juga gedung Balai Keselamatan yang terletak di persimpangan Jalan Sumatera dan Jalan Jawa, bangunan sudut yang terletak di simpang lima, bangunan sudut yang terletak di persimpangan Jalan Bungsu dan Jalan Sunda, gedung SMPN 5 dengan menara gandanya yang menghadap ke arah persimpangan Jalan Jawa-Jalan Sumatera.
Selain bangunan sudut dengan rancangan yang menggunakan kurva linier, menara tunggal dan ganda, ada pula rancangan bentuk lengkung pada sudut jalan.
Beberapa bangunan bersejarah di Kota Bandung, ada yang sudah dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru. Salah satunya adalah gedung Singer yang terletak di simpang lima. Gedung Singer adalah satu contoh pengalaman pahit. Tapi dari situ, kita dapat berkaca kembali. Masih ada kesempatan untuk belajar dari pengalaman yang lalu untuk kemudian bertindak, mempertahankan milik kita yang tersisa. Kalau kita mau...(Oleh :.zhovena)